Template by:
Free Blog Templates

Followers

Jumat, 30 April 2010

Teen Heroes (sebuah cerita dari saya sengaja dipotong di tempat yang nanggung) p.9 (maaf kalo bagian ini sedikit nyampah)

“Ehm…” sebuah suara menyebalkan datang dari arah belakang. Ternyata suara itu berasal dari senior perempuan yang tadi. Tanpa pikir panjang dia bertanya “apa hukumanmu?” Aku hanya menoleh kearah Wolvie dan Ryuu. “Kita hanya membantu, hukumannya terserah kamu.” Kata Wolvie. “Sebenarnya aku hanya ingin agar kalian tidak mengganggu teman-temanku lagi. Jadi hukumanku adalah kalian harus berhenti mengganggu semua murid-murid disini. Keberatan?” Aku memutuskannya dengan cepat. “Peraturan tetap saja peraturan, baiklah kami akan turuti keinginanmu. Tapi kita terlalu bosan tanpa melakukan itu.” Protes perempuan itu. “Kenapa kau tidak membuat sebuah pertandingan seperti yang baru saja kita lakukan? Dengan peraturan dan perlengkapan yang baik semua akan baik-baik saja dan menyenangkan.” Sambar Ryuu. “Benar juga, baiklah kita akan pertimbangkan saranmu. Kalau begitu aku pergi dulu.” Akhirnya masalah itu berakhir dengan baik dan acara keliling sekolah dilanjutkan. “Kazukii!!” Kakakku datang dengan muka yang terlihat sangat bersemangat. “Katanya kau mau melawan orang-orang pengganggu itu ya?” “Udah menang kok. Kakak ini, telatnya jauh banget dari akhir pertandingan. Orang-orang udah teriak-teriak menang kakak baru datang.” Jawabku. “Yaaaah telat, makanya kalo mau berantem SMS dulu, gimana sih.” “Hahahahahaha… gak lucu. Mana ada orang berantem SMS dulu.” Semua tertawa. “Yaudah deh aku pergi dulu.” Lanjut kakakku, “Daah,” dia berlari dan bercampur di kerumunan. “O iya….. kawan-kawan terima kasih ya.” Sekali lagi Syifa mengatakan terima kasih pada kami. “Gak masalah….. kita kan teman.” Balas Wolvie. “Teman kan memang harus saling melindungi.” Lanjut Ryuu. “Yang penting semuanya baik-baik aja.” Lanjutku. Kami melanjutkan berjalan-jalan mengelilingi sekolah berempat.

Tak terasa kegiatan keliling sekolah selesai. Kegiatan itu diakhiri dengan ‘pengusiran’ para murid yang dihiasi dengan kata-kata “besok ada demo klub, jangan lupa ya.” ‘Aneh,’ pikirku. Aku pulang bersama Wolvie, Ryuu, dan Syifa. “Kita ke SMP dulu yuk,” kata Wolvie ditengah perjalanan. “Ngapain ke gedung SMP?” Tanya Ryuu. “Aku mau jemput adikku di sana.” Jawab Wolvie. “Sepertinya asik juga, aku bosan di kamar asrama terus.” Sambungku. “Yaudah, kita kesana aja.” Ryuu melanjutkan. Akhirnya kita berjalan ke arah gedung SMP. Setelah berjalan beberapa lama kita sampai di depan gerbang gedung sebesar gedung SMA tapi berwarna biru. Biru yang sangat muda sehingga kukira berwarna putih. “Mana adikmu?” Tanya Ryuu. “Itu dia datang.”Jawab Wolvie. Sekelompok murid SMP berjalan menuju gerbang sekolah. “Oy Taigaaa!!” Wolvie teriak memanggil. Salah seorang anak dari sekelompok anak itu menoleh dan melambaikan tangan. Lalu dia berteriak “Kakak, jangan teriak-teriak, berisik!!” ‘Dia sendiri teriak, gimana sih,’ pikirku. Anak-anak itu datang kearah kami. Semakin dekat mereka datang semakin aku menyadari, salah satu anak dari sekelompok anak-anak itu sangat kukenal. Saat mereka sudah berdiri dihadapan kami aku baru sadar kalau salah satu teman adiknya Wolvie adalah Hikari. “Assalamualaikum,” Hikari memberi salam. “Waalaikumsalam,” aku menjawab salamnya, begitu juga Syifa. Kami berempat dan gerombolan anak SMP itu berjalan pulang bersama. Entah kenapa aku merasakan ada yang aneh dari Wolvie dan adiknya tapi apa? Setelah beberapa saat berfikir aku menyadari sesuatu, lalu aku menanyakannya pada Wolvie. “Oy Wolv, kau dari Australia kan?” “iya, memangnya kenapa?” “Namamu Wolvie, tapi kenapa nama adikmu Taiga yang seperti nama dari jepang?” “Ooh kalau itu sih begini ceritanya. Waktu aku dan keluargaku sedang jalan-jalan ditengah padang pasir aku melihat sebuah pesawat kecil jatuh. Lalu kami menghampiri pesawat itu. Ternyata penumpang pesawat itu hanya sebuah keluarga, seorang ayah, ibu, dan anak laki-laki. Mereka dari jepang.”Wolvie berhenti sejenak. “lalu?” tanyaku. “Kami langsung menelpon mobil ambulan. Tapi saat mobil ambulan itu datang ayah dan ibu Taiga menghembuskan nafas terakhir mereka. Akhirnya karena tidak ada yang mengurus Taiga ayah ibuku mengadopsinya.”

Selasa, 13 April 2010

Teen Heroes (sebuah cerita dari saya sengaja dipotong di tempat yang nanggung) p.8

"Kazuki, Ryuu, hindari tangan kanan anak yang berkepala botak itu dan kaki kiri anak sipit berambut kuning itu. Sebaliknya, pukul kepala anak botak itu dan tangan kanan anak yang sipit. Setelah itu kembali lagi kesini." Dengan sangat cepat Wolvie menganalisa kekuatan dan kelemahan mereka. "Baiklah kalau begitu." Aku dan Ryuu menjawab bersamaan. Dengan cepat kami berlari ke arah mereka. Seperti kata Wolvie, sibotak dengan cepat mengayunkan tangan kanannya ke arahku. Aku langsung melakukan sliding tackle dan berhasil membuat dia kehilangan keseimbangan. Aku bergerak kebelakangnya dan memukul kepalanya sehingga dia jatuh. Kupukul bagian punggungnya sampai dia mengayunkan tangan kanannya ke arahku, beruntung aku tidak kena pukulannya itu. Pada saat yang sama Ryuu melompati tendangan kaki kiri si orang sipit, lalu Ryuu menarik tangan kanannnya dan menjatuhkannya. Ryuu memukul punggungnya, sibotak menghampiri dan dengan cepat mengayunkan pukulan ke arah Ryuu. Ryuu menghindarinya lalu menyelengkat orang botak itu, lalu kembali kearah Wolvie dengan tenang. Hasilnya kami dapat mengurangi 10 point dari total life point mereka. "Yeah..!!! Benar kan kataku? Siapa dulu dong, Wolvie!!" Wolvie teriak kegirangan. Kami tertawa terbahak-bahak lalu kembali bersiap menghadapi serangan berikutnya. Saat mereka bangun mereka duduk tenang seperti sedang bertapa. "Wolv, bagaimana ini?" Ryuu menanyakan taktik berikutnya. "Untuk saat ini, pertahanan dan serangan mereka bertambah pesat. Aku sulit mencari titik kelemahannya." Kata Wolvie kebingungan. Mereka tiba-tiba berdiri dan berlari ke arah kami. Gerakan mereka sangat cepat, arah mereka juga tak dapat diperkirakan, satu-satuya pilihan untuk kami adalah saling melindungi. "Perhatikan gerakan mereka! Jangan sampai lengah!" Aku hanya bisa mengingatkan teman-temanku. Mereka semakin dekat dan kami semakin bingung. Sibotak mendekati Ryuu dan Wolvie. Si orang sipit mendekatiku. Senior botak itu menghajar mereka habis-habisan. Anak sipit itu juga langsung meluncurkan beberapa pukulan kearahku dan kena langsung ke perutku. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7. pukulan sudah kuterima tetapi tetap tak bisa kuhindari. 8, sampai pukulan ke-sembilan akhirnya aku mendapat pola pukulannya. Kuhindari pukulan ke-sepuluh dan kuberikan dia 1 rangkaian hantaman. Tangan kanan, tangan kiri, tangan kanan, kaki kiri, lalu tendangan kaki kanan langsung ke perutnya. Ryuu dan Wolvie juga melakukan hal yang sama. Hasilnya kami berhasil merebut 8 point dari sisa 10 point mereka. Senior yang sipit kalah dan pelindung tangan kanan dan kirinya menempel satu sama lain dan terkunci. Life point kami tinggal masing-masing 1 point. Sedangkan orang botak itu masih 2 point ditambah keahliannya yang tak bisa kami tandingi. Orang botak itu diam sejenak dan langsung memulai larinya lagi. Kali ini larinya lurus. "Ryuu, Kazuki, pilihan kita tinggal satu." Kata Wolvie dengan cepat. "Kita akan ikuti apapun rencanamu."Jawabku dan Ryuu dengan cepat. Akhirnya dengan sebuah rencana gila kita berlari kearah orang botak itu. Tepat di depan orang botak itu, Ryuu melompat dan orang itu memukulnya. Life point Ryuu jadi nol tetapi apa yang terjadi justru benar-benar menguntungkan. Ryuu jatuh pas di bahu senior botak itu dan tangannya terkunci sehingga mengikat orang itu. Dengan cepat aku dan Wolvie langsung memukul badan senior botak itu dan 'Priiiiiiiit..' peluit berbunyi "dan pemenangnya adalah grup junior!!!!" Semua ikatan di tangan murid yang kalah lepas, kita bertiga tertawa terbahak-bahak bersama tanda kita berhasil mengalahkan mereka.

Semua murid junior yang menonton bersorak dan berlarian mengepung kami. "Wolvie. Kazuki.. Ryuu Wolvie Kazuki.Ryuu!" Berulang ulang. Aku membetulkan posisi headphone yang nyaris jatuh dari leher. Di tengah kerumunan itu kulihat dari kejauhan Syifa yang sudah tersenyum tenang. Dengan senyuman manisnya itu dia berkata "Terima kasih." Walaupun aku agak susah mendengarkannya tapi aku bisa membaca gerakan bibirnya itu. Aku hanya membalasnya dengan senyuman karena nggak ada gunanya membalasnya dengan kata 'sama-sama'.